Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI KOBA
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
2/Pid.Pra/2024/PN Kba 1.Leni alias Leni binti Mashul
2.Teddy Damara alias Dodi bin Abidin
3.Zulkifli alias Dung bin Hasid
Kepolisian Resor Bangka Tengah Minutasi
Tanggal Pendaftaran Selasa, 03 Des. 2024
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 2/Pid.Pra/2024/PN Kba
Tanggal Surat Selasa, 03 Des. 2024
Nomor Surat 01/AFLF-Prapid/XII/2024
Pemohon
NoNama
1Leni alias Leni binti Mashul
2Teddy Damara alias Dodi bin Abidin
3Zulkifli alias Dung bin Hasid
Termohon
NoNama
1Kepolisian Resor Bangka Tengah
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan
- Bahwa Menurut pasal 1 ayat (3) UUD 1945 " Negara Indonesia adalah negara hukum" Dan menurut pasal 28 D UUD 1945 " setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, Dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum". Detent kedua pasal UUD ini bermakna hak asasi manusia mempertahankan harkat, martabat dan kedudukannya sebagai manusia di hadapat hukum melalui proses hukum yang berkeadilan dan bermartabat.
 
- Bahwa menurut putusan Mahkamah Konstitusi nomor 65/PUU-IX/2011, halaman 30 menyatakan:
 
"....filosofi diadakannya pranata Praperadilan yang justru menjamin hak-hak Tersangka/terdakwa sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia". 
 
- Dengan demikian, berdasarkan putusan mahkamah Konstitusi ini pada hakekatnya Praperadilan itu adalah untuk menjamin hak Tersangka, Dari kesewenanggan-kesewenangan yang mungkin dan dapat dilakukan oleh parat penegak hukum, sejak dilakukan penyelidikan sampai ditetapkan sebagai Tersangka;
 
- Bahwa pengajuan Permohonan Praperadilan oleh PEMOHON berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Bab X Bagian Kesatu Undang-undang nomor 8 tahuun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Bab XII Bagian kesatu KUHAP. Lembaga Praperadilan sebagai sarana untuk melakukan kontrol atau pengawasan horizontal terhadap penggunaan wewenang oleh aparat.
 
- Bahwa Penegak hukum seperti Penyelidik, dan/atau Penyidik termasuk dalam penetapan Tersangka. Pengawasan horizontal terhadap kegiatan penyelidikan, penyidikan sangat penting karena sejak seseorang ditetapkan sebagai Tersangka, maka aparat penegak hukum dapat mengurangi dan membatasi hak asasi seorang manusia. 
 
- Bahwa Sebagai upaya hukum untuk mencegah agar aparat kewenangannya  maka diperlukan lembaga  yang dpat melakukan pengawasan horizontal terhadap aparat penegak hukum. Oleh karena itu pengujian keabsahan penggunaan wewenang oeh aparat penegak hukum termasuk dalam pengetapan Tersangka dilakukan apabila wewenang dilaksanakan secara sewenang-wenang, digunakan dengan maksud atau tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP.
 
- Bahwa untuk mengukur wewenang tersebut digunakan menurut ketentuan undang-undang  dapat dilihat dari tujuan Penyelidikan berdasarkan Pasal 1 angka 5 KUHAP yaitu untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan dan tujuan Penyidikan berdasarkan  pasal 1 angka 2 KUHAP yaitu untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu mebuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
 
- Bahwa pengujian keabsahan proses penyelidikan, penyidikan dan penetapan Tersangka  melalui lembaga Praperadilan, patut dilakukan karena sejak seseorang  ditetapkan sabagai Tersangka  maka sejak  itu pula segala upaya paksa dapat dilakukan terhadap seorang Tersangka dan harta kekayaan tersangka, dengan alasan untuk kepentingan penegakan hukum. Oleh karena  penetapan Tersangka merupakan bagian akhir dari rangkaian tindak penyidik dalam proses Penyidikan sebagaimana dimaksud oleh pasal 1 angka 2 KUHAP, maka penetapan tersangaka tersebut perlu diuji kebenaran atau keabsahannya. 
 
- Bahwa secara hukum lembaga yang berwenang menguji dan menilai keabsahan "Penetapan Tersangka" adalah pengadilan melalui Praperadilan. Oleh karena itu, dalam menguji keabsahan penetapan status Tersangka pada hakekatnya adalah menguji dasar-dasar dari tindakan penyelidik, penyidik  ang akan diikuti upaya paksa. Dengan kata lain, pengujian terhadap sah atau tidak sahnya penetapan Tersangka, pada hakekatnrya adalah menguji induk dari upaya paksa yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum  terhadap seorang warga Negara.
 
- Bahwa dalam praktik hukum Lembaga Praperadilan harus diartikan sebagai upaya  pengawasan terhadap pengguna wewenang oleh penyidik untuk menjamin agar hak asasi manusia tidak dilanggar oleh aparat penegak hukum atau nama penegak hukum, sebagaimana secara tegas dituangkan dalam konsideran Menimbang huruf (a) dan (c)  KUHAP yang menjadi spirit atau ruh atau jiwanya  KUHAP, yang berbunyi :
 
" Negara Republik Indonesa adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-undang  Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi  manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
 
- Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana adalah masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan  fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya Negara hukum sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945."
 
- Bahwa Penegasan terhadap hal tersebut juga dilakukan dalam Penjelasan Umum KUHAP, tepatnya pada angka 2 paragraf ke-6 yang berbunyi :
 
"...pembangunan yang sedemikian itu di bidang hukum acara pidana bertujuan, agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya dan agar dapat dicapai serta ditingkatkan pembinaan sikappara pelaksana penegak hukumm sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan yang merupakan pengayoman terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia, ketertiban dan kepastian hukum demi tegaknya Republik Indonesa sebagai Negara Hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945".
 
- Bahwa dalam praktik hukum, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015 secara tegas menyatakan bahwa penetapan tersangka adalah merupakan objek praperadilan. Dengan demikian maka Permohonan PEMOHON untuk menguji keabsahan penetapan PEMOHON sebagai TERSANGKA melalui praperadilan adalah sah menurut hukum, sebagaimana dinyatakan  dalam pertimbangannya yang berbunyi :
 
"oleh karena penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang  penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan  maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya. 
 
- Namun demikian, perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku secara ideal dan benar. Dimasukkannya keabsahan penetapan tersanga sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. Berdasarkan pertimbanggan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon mengenai penetapan tersangka menjadi objek yang didalili oleh pranata praperadilan adalah berasal menurut hukum ". (Putusan MK hal 105-106).
 
- Bahwa dengan adanya  putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, maka pada hakekatnya hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia telah secara tegas  mengatur adanya lembaga koreksi atas penetapan seseorang sebagai Tersangka. Dengan kata lain,  menurut Keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, adalah merupakan hak asasi seorang untuk menguji sah atau tidak sahnya ketika ditetapkan sebagai Tersangka. Apabila jika terjadi kesalahan dilaukan oleh penyidik in casu TERMOHON dalam menetapkan seseorang  sebagai Tersangka, dalam hal ini adalah PARA PEMOHON, maka hak seorang warga negara untuk melakukan koreksi dan penetapannya sebagai Tersangka in casu PARA PEMOHON. 
 
- Kegiatan melakukan koreksi terhadap kesalahan penyidik atau penetapan tersangka tersebut dilakukan melalui lembaga Praperadilan. Koreksi ini dilakukan  untuk melindungi hak asasi seseorang (Tersangka) dari kesalahan/kewewenangan yang mungkin secara sengaja atau karena lali dilakukan oleh penegak hukum dalam hal ini Penyidik pada Polres Bangka Tengah. Oleh karena itu, hakim tidak boleh menolak upaya koreksi atas kesalahan pengak hukum yang melanggar hak asasi manusia hanya dengan alasan tidak ada dasar hukumnya atau karena pasal 10 ayat (1) Undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman yang menyatakan :
 
" pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya".
 
- Bahwa sebelumnya putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, hakim telah beberapa kali melakukan penemuan hukum terkait dengan objek Praperadilan termasuk penetapan Tersangka. Sebagai  contoh Putusan Perkara Praperadilan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/PN.Bky. tanggal 18 Mei 2011, jo Putusan Mahkamahh Agung No 88/PK/Pid/2011  tanggal 17 Januari 2011, yang pada intinya menyatakan tidak sahnya penyitaan yang telah dilakukan. Sedangkan yang terkait dengan sah atau tidaknya penetapan Tersangka, Penagdilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara Putusan Praperadilan No. 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel, tanggal 27 November  2012 telah menerima dan mengabulkan permohonan Praperadian dengan menyatakan antara lain " tidak sah menurut hukum tindakan  TERMOHON menetapkan PARA PEMOHON sebagai Tersangka",  dan juga ada Putusan Praperadilan dalam perkara No.04/Pid/Prap/2014/PN.Jkt.Sel, tanggal 16 Februari 2015, secara tegas antara lain, "menyatakan penetapan Tersangka  atas diri PEMOHON yang dilakukan oleh TERMOHON adalah tidak sah', "menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh TERMOHON yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka terhadap diri PEMOHON oleh TERMOHON" dan Putusan Praperadilan dalam perkara no.36/Pid/POrap/2015?PN.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015, secara tegas antara lain, "menyatakan tidak sahnya penetapan seseorang menjadi Tersangka".
 
- Bahwa sesudah adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, telah ada putusan praperadilan yang menerima tidak sahnya penetapan seseorang menjadi tersangka, yaitu Putusan Praperadilan nomor : 36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel, tanggal 26 Mei 2915. Dalam pertimbangannya, Hakim praperadilan mempertimbangkan sebagai berikut :
 
" menimbang, bahwa memperhatikan surat bukti P 11 yaitu salinan Keputusan kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia beserta  lampirannya tentang pemberhentian denga hormat dari Dinas POLRI diketahui ada 11 orang anggota Polri di KPK yang mengajukan pemberhentian dengan hormat  atas permintaan sendiri dari dinas POLRI yang mana permohonan berhenti tersebut disetujui Kapolri dengan  surat Keputusan tertanggal 25 November 2014 dan terhitung sejak tanggal 30 November 2014 diberhentikan dengan hormat dari Dinas Polri sehingga dengan demikian sejak tanggal tersebut yang  bersangkutan demi hukum juga berhenti sebagai Penyelidik dan Penyidik. Hal ini adalah sejakan dengan ketentuan Pasal 43 ayat (1) dan pasal 45 ayat (1) Undang-undang No.30 tahun 2002 Jo pasal 39 ayat (4) Undang-undnag Nomor 30 tahun 2002 tersebut di atas, sehingga dengan demikian segala tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh anggota Polri yang telah pensiun atau berhenti dengan hormat tersebut setelah tanggal 30 November 2014 tersebut adalah batal demi hukum'. (Putusan halaman 257-258);
 
- Bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, telah ditentukkan adanya norma baru yang memngikat seluruh warga negara Republik Indonesia yaitu syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Tersangka, selain adanya bukti permulaan harus dilakukan pemeriksaan  terlebih dahulu terhadap calon tersangkanya;
 
"....harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya.' (Putusan MK Nomor 21/PUU/XII/2014,hal 98);
 
- Bahwa berdasarkan argumentasi yuridis tersebut di atas, maka adalah merupakan kewenangan dari praperadilan untuk menilai sah atau tidak sahnya penetapan Tersangka. Oleh karena itu Permohonan Praperadilan yang diajukan oleh PARA PEMOHON beralasan menurut hukum
Pihak Dipublikasikan Ya